copyright Michelle Jonny
Membaca huruf, pakai logika. Jangka pendek.
Membaca keadaan, pakai perasaan. Jangka panjang.
Contoh cerita kayak gini..
Hubunganku dan KoJonny terkendala di Bahasa.
Dia mesti banget belajar bahasa Indonesia dan aku mesti banget belajar bahasa Mandarin.
Awalnya, kadang bercandaan jadi garing kriuk2 karena lelucon yg mesti diterjemahkan berulang sampe ga lucu sama sekali 😂😂😂😂
Predikat "HE IS THE ONE" mulai bergeser jadi "IS HE THE ONE??"
Yakin gak bakal seumur hidup bersamanya? Setelah dipikir2, seumur hidup itu panjang dan komunikasi bukan sekedar di dapur dan di kasur.
Sebagai cewek kece yg tau selalu dinanti kayak Film Tom Cruise, timbul rasa sangat ragu dan ambigu salah2 aku bakal mengulang kesalahan dari hubungan yg lalu2, nih?
BTW, ga ada ruginya juga ninggalin hal2 yg ga kusukai. Pasti ada seseorang yg lebih baik (kataku pada diri sendiri -- dulu)
Aku dan dia sering merasa ingin pisah..
Dia introvert, aku ekstrovert abis. Aku seneng bersosialisasi dan di mata dia itu lebay.
Bagiku dia sensi. Dan ketus! Apa yg ada di pikirannya, baik atau buruk, langsung nyeplos ga ada filter.
Dulu, sering banget aku nanya, "Koq, bisa sih kamu punya pikiran (seburuk) gitu?"
Lalu mendadak aku tau jawabannya dalam salah satu meditasi (entah yg kapan)
Sama kayak pertama kali aku belajar bahasa Jepang dan Mandarin.
Huruf2 itu ngga bisa kubaca, ga tau artinya, walaupun bisa sih keliatan, gitu kan.
Tapi lama2 setelah aku mengorek lebih dalam, belajar, jadi ngerti.
Kagum -- banyak puisi dan sajak yg indah kalau kita tau cara bacanya.
Lagu2 mellow jadi asik aja kalau kita tau apa yg dinyanyiinnya (padahal bahasanya ga familiar di kuping org sekitar)
Aku merenung lagi.
Sebenarnya, apa yg kucari?
Laki2 baik, kan?
Yg bisa ninggalin segala kebiasaan buruk spt judi, miras, rokok, kan? Nah ini uda ketemu.
Secara fisik, seleraku banget. Tapi kenapa masih ada yg salah?
Ternyata... Kurang bersyukur itu gejala. Bukan sumber penyakit.
Ada sesuatu yg bikin kita gak bisa melihat keindahan yg mesti disyukuri. Kita ga niat mempelajarinya. Aku merasa memahami dia sama aja buang2 waktu. Itu penyakit sebenernya!
Ya, aku bole ninggalin dia kalau dia sama aja kayak yg sebelum2nya. Egois. Ga mikirin kepentinganku. Dan sibuk sama yg yg menurutku ga ada hubungan sama masa depan.
Tapi, laki2 ini ngga loh..
Dia selalu mau ngalah, memperbaiki diri, ga pernah mengulang kesalahan yg sama (meski kesalahan baru selalu ada - di mataku)
😝😝😝😝😝😝😝😝
Fix!
Aku mesti lebih mahir membaca perasaannya, moodnya, kebiasaannya.
Apalagi setelah aku tau kalau dia memiliki 'keunikan' sebagai ADHD dewasa dan disleksia.
Semakin menantang, nih... seumur hidup ga akan bosan, karena aku akan terus melakukan hal yg kucintai sepenuh hati -- mengajar dan belajar.
Kalau dia lagi gini, cara bacanya gini -- biar tau artinya.
Kalau dia lagi badmood, terbaca, aku mesti gini..
Ntar gantian,, aku juga ga selalu on goodmood. Tapi kan ada mantra 'sorry, i didn't mean it. Love you..'
Saling belajar baca utk bahagia sampai maut memisahkan.
Mulailah aku mengajarinya mengeja vocab, lambat laun jadi bahasa Inggris.
Dia (herannya) bisa loh ngerti huruf mandarin dengan cepet. Mantep jiwa.
Sekarang, bahasa bukan kendala bagi kami. 7 taun bersama, ini murid spesialku uda lulus SD.
😁😁😁
Pengalaman 'membaca' dirinya, menjadi dasar diriku saat ini.
Ada 69 distributor seluruh Nusantara, ratusan sales, dan puluhan ribu pemakai Sagha yg mesti dibaca satu per satu. Karena mereka spesial. Ga ada yg sama. Setiap dari mereka unik.
Selalu ada cerita indah dari setiap individu yg berjodoh dg Sagha.
Moral cerita :
Membaca dan menghitung kehidupan itu jangka panjang. Mesti dieja dengan merenung (bukan melamun)
Apakah yg pantas kita lepas, dan apa yg pantas kita pertahankan.
Seberapa bahagia diri kita ketika melakukannya? Bila yg ada cuma derita. Mungkin itu cinta sepihak yg terlalu maksa. Dan aku sih, ga akan kuat terlibat seumur hidup dg hubungan 1 arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar