*SELENA-- spin off Serial BINTANG
**episode 1
Namaku Selena.
Aku lahir di Distrik Sabit Enam, dua ratus kilometer utara Kota Tishri, Klan Bulan. Itu bukan kawasan yang maju dan canggih. Itu kawasan kumuh, padat dan tertinggal.
Aku yatim piatu sejak kecil. Orang tua-ku petani jagung. Ayahku meninggal saat aku berusia delapan tahun, karena sakit keras. Dia memiliki sakit bawaan, sejak kecil sudah menderita. Keluarga kami miskin, kami tidak bisa membawa Ayah ke Pusat Pengobatan Mutakhir Kota Tishri. Setelah berjuang selama berbulan-bulan, Ayah meninggal, dimakamkan di Distrik Sabit Enam, pemakaman rendah, kami tidak punya uang untuk mengirim Ayah ke dalam sistem pemakaman Kota Tishri yang modern. Ibuku menyusul Ayah saat usiaku sembilan tahun. Dia sakit-sakitan sejak Ayah meninggal. Awalnya, hatinya yang sakit, separuh semangatnya hilang, kemudian menyusul fisiknya. Hilang keinginan sembuh, tidak bertahan lama, tidak ada biaya pengobatan, Ibu meninggal di suatu malam saat bulan tertutup awan pekat. Aku ingat sekali kejadian malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata kepadaku, “Selena, jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian menghadapi kehidupan.”
Aku mengangguk pelan.
“Ibu akan pergi, Nak, seperti Ayahmu. Maafkan Ibu yang tidak bisa membesarkanmu dengan baik.”
Aku kembali mengangguk pelan, aku tidak menangis. Sejak kecil aku tidak menangis, bahkan saat lahir aku pun tidak menangis. Kejadian langka yang kemudian membuatku kadang dipanggil, ‘Anak yang tidak pernah menangis’.
Angin malam bertiup kencang memainkan rambut keritingku.
“Selamat tinggal, Selena.”
Ibu menggenggam jemariku, memejamkan matanya, pergi selama-lamanya.
Esok pagi-pagi, tubuhnya dimakamkan di sebelah Ayah. Itu ‘kelebihan’ pemakaman rendah, setidaknya, pusara berbentuk bundar Ayah dan Ibu bisa bersisian di belakang kebun jagung kami.
Tidak banyak yang datang di pemakaman Ibu—juga Ayah dulu. Hanya sepuluh-lima belas orang tetangga kami. Satu-dua memelukku, bilang ikut berduka cita. Satu-dua menyeka air mata di pipi, berbisik bilang turut kehilangan. Beberapa kapsul terbang usang dan kusam teronggok di parkiran, kemudian terbang terbatuk-batuk setelah acara selesai. Tidak ada yang terlalu lama ingin menghabiskan waktu di rumah kami.
Meninggalkan aku sendirian, bersama Togra.
“Ibumu menulis sepucuk wasiat untukmu, Selena” Togra, tetua Distrik Sabit Enam mengajakku bicara setelah semua orang pergi. Usianya sekitar seratus tahun. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
Aku menerima kertas itu. Membacanya.
“Pamanmu Raf, yang tinggal di Kota Tishri akan merawatmu. Pergilah. Temui dia. Tertanda Ibu.”
Pendek saja pesan Ibu. Ada alamat Paman Raf di balik kertas tersebut.
Aku menatap kertas itu. Jika hanya sependek ini, kenapa Ibu tidak bilang saja langsung sebelum dia meninggal? Entahlah. Aku tidak sempat memikirkannya, melipat kertas itu perlahan.
“Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan, Selena?”
Aku mengangguk.
“Bagus.”
Tapi aku tetap diam, menunduk.
“Aku tahu Ibumu sama sekali tidak punya uang. Tapi tetanggamu berbaik hati, mereka telah mengumpulkan uang untuk perjalananmu ke Ibukota, Selena.” Togra mengulurkan amplop berwarna merah—seperti tahu apa yang sedang kupikirkan sambil menunduk.
Aku menerimanya.
“Tidak banyak. Tapi itu cukup hingga kamu tiba di sana.”
“Terima kasih.” Aku berkata pelan.
“Semoga kamu menemukan kehidupan yang lebih baik di sana, Selena. Kamu tidak bisa sendirian di kebun jagung ini. Distrik ini semakin kumuh dan tidak punya masa depan.” Togra mengangguk-angguk, lantas berdiri. Sejenak, kapsul terbang miliknya yang tak kalah kusam, terkentut-kentut terbang. Meninggalkan rumah dan kebun jagung kami.
Lengang.
Aku menatap ruangan depan rumah kami. Dinding rumah yang retak, atap yang bocor. Meja tua, kursi reot. Lemari yang berbunyi setiap kali dibuka. Ada beberapa foto keluarga kami di dinding. Seekor lalat hinggap. Cicak yang mengintainya. Tidak ada benda canggih di rumahku—berbeda dengan di kota yang konon katanya kursi terbang sedang trend. Aku menghembuskan nafas perlahan.
Menatap retakan di dinding rumah. Aku hafal. Aku hafal sekali setiang senti ruangan ini, bahkan jika itu hanya bekas tetesan air hujan di lantai, gurat halus di dinding. Itulah kelebihanku.
“Kamu memiliki mata yang tajam, Selena. Jangan berkecil hati jika teman-teman mengolokmu.” Itu kata Ayah dulu, memujiku, lantas mengusap rambutku. Mencoba membesarkan semangatku setiap kali aku pulang bermain dan melapor, teman-teman yang lain barusaja mengolok-olokku.
“Itulah kelebihanmu, Selena.” Itu kata Ibu, tersenyum, “Kamu memang tidak pandai menghilang, atau teknik Klan Bulan lainnya, tapi matamu setajam elang Pegunungan Berkabut. Ingatanmu sekuat gurat air di sungai-sungai jauh.” Ibu juga mencoba menyulam sedih hatiku setiap kali teman-teman menjadikanku bulan-bulanan. Tubuhku kecil, kurus, kulit gelap, rambut keriting, lengkap sudah untuk menjadi target bully anak-anak di Distrik Sabit Enam.
Kini, orang tua ku sudah pergi. Tidak ada yang akan membesarkan hatiku.
Aku tidak terlalu suka dengan ‘mata tajam’, jika aku boleh memilih, aku ingin punya pukulan berdentum terbaik. Agar aku bisa melawan orang-orang yang menjahiliku.
Aku menghela nafas lagi, pindah menatap keluar jendela. Di sana traktor terbang tua milik Ayah teronggok, juga peralatan bertani yang lebih sering rusak daripada berfungsi. Kebun jagung kami kering. Sudah lama tidak produktif, tanahnya susah sekali di tanami. Aku menatap sticker hologram di traktor, garis-garis pudar. Aku ingat setiap senti apapun yang pernah kulihat.
Baiklah. Cukup semua pikiran yang melintas ini. Aku harus fokus. Aku harus mulai berkemas. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke Kota Tishri.
Aku balik kanan, segera masuk kamar, meraih tas perjalanan.
Usiaku sembilan tahun. Aku sempurna menjadi yatim piatu.
Itulah hari ketika petualanganku dimulai di dunia paralel.
Sebagai Pengintai terbaik—bakat besarku sejak kecil.
*bersambung
tere liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar