copyright Michelle Jonny
Bagi saya, beramal dan belanja, memiliki fungsi yg kurang lebih sama. Itu hanya sebuah sirkulasi keluar masuknya uang. Bedanya, sepanjang pengalaman saya, apa yg kita keluarkan utk kegiatan beramal (waktu, tenaga, uang) akan kembali sebagai energi berupa kebahagiaan dalam jangka waktu yg cukup lama.
Saat berpikir akan memberi, saya bahagia.
Saat memberi, saya bahagia.
Setelah saya memberi, saya bahagia.
Dan ketika roda berputar, dan saya 'mesti' ada di posisi sebagai 'terbantu' (dalam berbagai kemungkinan, kita ga mungkin ga memerlukan bantuan orang, kan?) -- selalu ada bantuan yg datang tepat waktu.
Beda dengan nilai shopping/belanja. Yg seneng sendiri aja.
Setelah belanja dan barang yg tadinya bernilai (di etalase) menjadi pajangan (di rumah) -- ia kehilangan nilainya. Ia juga tak memiliki energi utk menggerakan 'sesuatu' agar terjadi sebaik2nya pada diri saya ketika posisi saya berada di 'bawah'.
Ya, saya harus menjelaskan serumit ini memang, pada seseorang yg sulit sekali berbagi.
Mereka merasa ga butuh utk berbagi, mereka lebih suka belanja sebagai apresiasi pada kerja keras yg telah dijalani.
Hasilnya? They're living in hollow world.
Mereka terus menggali, dan kebahagiaan nyata -- terasa membingungkan.
Saya tau, banyak sekali seminar jaman sekarang yg menggabungkan antara spiritual dan bisnis.
Klo mau punya banyak duit? Mesti sedekah.
Mereka terus menanamkan sugesti ini, dan MESKI TANPA JAMINAN, banyak org yg ikut caranya.
Pendapat saya tentang ini?
Semua orang akan mendapat ilmu yg sesuai dengan kebutuhannya utk bertumbuh. Bila memang harus terlebih dulu 'feeding' ego dan kerakusannya demi menyentuh keikhlasannya? Why not?
Ga ada 1 metode yg cocok dg semua orang. Dan ga semua orang cocok hanya dengan 1 metode.
Beda banget dengan Reksadana atau properti yg sama2 tanpa jaminan, tapi klo ngga berbunga sesuai harapan, wah,,,
Mencak2 deh investornya. Akhirnya, oleh brokernya, selalu ditekankan 'ini investasi jangka panjang...'
RESIKO DITIPU?
Sama2 ada, lho... dengan beramal, mungkin kita dijebak dan diperdaya orang (tapi selanjutnya kita pasti akan lebih waspada) Dengan invest, bisa juga ditipu.
Yg membedakan, RASANYA, bung...
😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂
Secara naluri, kita mahluk sosial yg tercipta utk berbagi dan saling membantu.
Bisnis dan budaya menumpuk harta, baru2 ini aja ngeTrend.
Bandingkan sekarang, banyakan yg stress gara2 bangkrut, ditipu uangnya, atau rumah tangga kocar kacir gara2 IBU/BAPAK menukar waktunya dengan UANG (sementara keluarga dibangun di atas kasih sayang, bukan cuma uang dan makanan)
Atau banyakan yg stress karena telah banyak membantu orang?
Membantu orang, tidak membebaskan kita dari masalah. Tapi biasanya, org yg kita bantu, membuaf masalah kita terlihat KECIL.
Mengapa kita ngga ikutin fungsi genetik kita sebenarnya?
Kita ngga lahir utk jadi pememang, juara, blablabla seperti yg mereka ceritakan.
Siapa di dunia ini yg mau digembala? Waktu akan memberitahu akan jadi apa kita. Tapi, setelah kita jalan sesuai fungsi genetik kita: mahluk sosial.
Sejarah mengajarkan, populasi kita meningkat bukan karena uang semata. Tapi karena ada begitu banyak orang baik yg mau berusaha demi kepentingan sesama -- banyak yg mati tanpa dikenang --
Mereka melindungi, mengayomi, berbagi apa yg mereka miliki. Mengasah cinta kasih meskipun mungkin saat itu trend kanibal dan hukuman 'kubur/bakar hidup2' menjadi penanda kekuasaan.
Kalau suatu hari di jalan, ada perampok dan kamu sangat terdesak. Pilih nyawa atau uang?
Jawabanmu?
Lalu kalau suatu hari terdesak pula. Akankah kamu jual istrimu/anakmu utk menjadi sarana prostitusi dg harga 1 triliun, tunai? Well, beberapa akan menjawab, YA.
TAPI saya yakin, uang tidak dapat membeli keluarga -- ia dapat membeli rumah.
Ia dapat membeli sex -- tapi istri yg baik dan sehati, cari dimana?
Terutama, uang tidak dapat menebus rasa bersalah karena telah menyakiti orang lain.
You don't even have to try
It's always a good time..
🎶🎶🎶
Kenapa saya jelaskan tentang ini -- sementara saya hanya butiran debu..
Karena kemarin kebetulan ada yg tanya dan jawaban saya 'singkatnya seperti yg saya jelaskan di atas'.
Ia pulang dengan bahagia setelah angguk2 satu setengah jam lebih.
Kadang mesti saya ingatkan utk tutup mulutnya (jangan nganga terus) ntar kemasukan lalat.
Ketika kita sudah mandiri secara ekonomi dan masih bisa berbagi, berarti kita sudah kaya raya.
Dan pasti bahagia.
Tanpa sekolah pun, banyak orang desa menemukan kesuksesannya (sebagai manusia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar