Rabu, 28 Juni 2017

Pikiran

copyright Michelle Jonny

"The mind has no sex, no shape, no colour, and no owner."
Itu kata Guru saat mengajar kami.

Artinya, pikiran ini tidak memiliki jenis kelamin, bentuk, warna, dan tidak punya PEMILIK.
Pikiran2 hinggap di kepala kita namun itu bukan milik kita.
Jangan terlalu pusing dan bingung bila pikiran kita cenderung negatif atau 'menghakimi' terhadap apapun. It's just the way it is.

Yg penting, setelah mengetahui dan sadar kalau yg kita pikirkan itu tidak baik, bertindaklah hal yg memiliki perbedaan ekstrim dengan pikiran tersebut daripada menurutinya.

Because it is easier to follow the tide. Mudah utk mengikuti arus (di lautan)
Yg senang terhanyut dalam pikiran dan merealisasikan hal2 yg menyenangkan (namun merugikan org lain secara batin atau fisik) akan mendapati dirinya telah berada di tengah laut dan sudah terancam tenggelam, hanyut, hilang, mati.

Tepian sudah terlalu jauh utk digapai dan tenaga mungkin habis sebelum sampai ke tepi.

Contoh cerita yg nyata seperti ini..
Saat pertikaian terjadi, dimana saja, entah dg pasangan, anak, atau rekan.
Saya menyadari kalau sangat menyenangkan sekali mengatakan hal2 yg menyakiti dia seperti dia menyakiti saya.
Atau pada anak, saya sadar sekali kalau begitu menggoda memang memukul pantat anak atau membentaknya agar dia sadar kalau itu salah.

Alasan saya sama, semua saya lakukan karena saya PEDULI.
Terhadap orangtua yg kolot dan radikal, enak sekali mengikuti amarah dan membentak mereka agar mereka tau siapa yg benar dan siapa yg salah.

But, things not happened by our taught. It happened by a cause.

Pada akhirnya saya sadar, mereka sedang terhanyut dalam pikirannya. Mereka merealisasikan kesenangan dan tanpa sadar 'menyakiti' saya. Baik itu pasangan, anak, atau orangtua.
Kalau saya membalasnya dengan cara yg sama, hubungan jangka panjang yg akan terluka.
Ibarat org uda di tengah laut, kita injek sekalian kepalanya.
Dia tenggelam, tapi seret kaki kita ke bawah. Sama2 mati.

Pertama, saya belajar utk meminta maaf -- meredakan emosi (meredakan ombak)
Setelah ombak reda, barulah kita mudah menarik mereka ke tepian, bukan?
Memaafkan seseorang adalah upaya penyelamatan nomor 1.
Tapi bila saat menyelamatkan, si korban meronta dan mengancam kita bisa terbunuh juga, lepaskan,,
Tidak ada alasan kita ikut mati bersama hal yg tidak bisa dikendalikan.
Percayalah, pada saatnya, mereka akan menyelamatkan diri sendiri.
Atau tidak?

Entah.. tapi setidaknya saya sudah di tepian.
Saya tidak menyalahkan pikiran orang bagaimanapun bentuknya terhadap saya atau dunia ini.
Sebab pikiran yg hinggap itu bukan miliknya, dia hanya tak berdaya mengendalikannya.
Seperti sebuah kapal, otaknya tak memiliki nahkoda.
Bingung mau kemana sementara lambung kapal sudah bocor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar